Samanhudi (Samanhoedi), dikenal dengan sebutan H. Samanhudi dan K.H. Samanhudi. Nama kecil Samanhudi dikenal publik dengan nama Wirjowikoro dan Sudarno Nadi. Namun, nama kecil sebenarnya Samanhudi adalah Sudarno Nadi. Nama Wirjowikoro adalah nama dia ketika umur 20 tahun setelah nikah. Nama ini sama dengan nama kakeknya.
Nama H. Samanhudi adalah nama hajinya setelah menunaikan ibadah haji di Mekah pada tahun 1904. Nama K.H. Samanhudi adalah nama sebutan masyarakat terhadapnya.
Samanhudi lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada hari Minggu, 8 Oktober 1868. Dia wafat di Klaten, Jawa Tengah, Indonesia, pada Jumat, 28 Desember 1956. Ayahnya, H. Ahmad Zein, versi lain ada yang menyebutkan H. Muhammad Zein, adalah seorang pengusaha kain batik di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda.
Latar belakang pendidikannya: (1) pendidikan Sekolah Dasar kelas satu Bumiputera, dan (2) pendidikan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa. Pondok pesantren tersebut antara lain Pondok Pesantren Ciawigebang (pengasuh: K.H. Suyuthy), Pondok Pesantren Cipanjur (pengasuh: K.H. Abdur Rozak), Pondok Pesantren Sarajaya (Cirebon), dan Pondok Pesantren Tasikmalaya (pengasuh: K.H. Zainal Mustafa).
Pada tahun 1911 dia mendirikan Perkumpulan Pedagang Batik dan Laskar Keamanan “Rekso Rumekso” untuk menghadapi persaingan dagang dengan pedagang Tionghoa (China). Pedagang Tionghoa pada waktu itu diberikan perlakuan istimewa oleh penguasa kolonial Hindia Belanda, sementara pedagang pribumi dipinggirkan.
Namun, karena alasan perizinan dan pengakuan Pemerintah Hindia Belanda, “Rekso Rumekso” melebur menjadi bagian dari Sarekat Dagang Islamiyah/Islam (SDI) Cabang Surakarta. Induk organisasi ini di kota Bogor, pimpinan R.M. Tirtoadisoerjo, yang berdiri sejak 1909.
Pada tahun 1912 atas saran H.O.S. Tjokroaminoto SDI Cabang Surakarta ini berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI). Tujuan berdirinya organisasi ini antara lain: (1) mengembngkan jiwa dagang dan kesejahteraan masyarakat pribumi, (2) mengembangkan pendidikan dan pengajaran bagi pribumi, (3) memperbaiki citra Islam di kalangan masyarakat luas, (4) membantu kesulitan yang dialami anggota SI dalam sektor ekonomi, dan (5) mengembangkan esksitensi agama Islam di Indonesia.
Sejak berdiri tahun 1912, SI memiliki cabang di seluruh pulau Jawa. Pada hari Minggu, 23 Maret 1913, SI menyelenggarakan kongres ke-1 di kota Solo. Pada kongres tersebut, Samanhudi terpilih sebagai ketua SI dan H.O.S. Tjokroaminoto terpilih sebagai wakil ketua SI.
Namun, pada kepengurusan tahun berikutnya Samanhudi disingkirkan karena alasan kompetensi. Di kongres SI ke-2 di Yogyakarta pada hari Senin, 20 April 1914, forum kongres memilih H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua SI, sedangkan Samanhudi ditetapkan sebagai ketua kehormatan, yang tidak memiliki kewenangan apapun di organisasi. Pasca kongres 1914, Samanhudi tidak memiliki pengaruh di SI dan kantor pusat SI dipindah oleh H.O.S. Tjokroaminoto ke kota Surabaya.
Pasca tersingkir di kepengurusan SI, Samanhudi tidak lagi aktif di SI, pergerakan politik, dan kembali menggeluti usaha dagang batik warisan keluarganya. Sejak tahun 1914 hingga 1944 nama Samanhudi hilang dalam peredaran pergerakan politik nasional.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.