Soto Madura banyak dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Hampir semua kota besar di Indonesia terdapat warung kaki lima dan restoran soto Madura. Fenomena ini menandakan bahwa soto Madura menjadi salah satu kuliner populer dan favorit di semua lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan, di kalangan masyarakat negara maju soto Madura cukup dikenal dan digemari. Salah satu buktinya, menurut penuturan Abdul Gafar Karim (2008) soto ayam Madura menjadi salah satu menu utama di Bintang Café di Albany Highway, Victoria Park, Australia.
Namun, popularitas soto Madura tidak berbanding lurus dengan pengetahuan masyarakat terhadap sejarah asal-usul soto Madura. Banyak kalangan masyarakat, baik masyarakat Madura maupun penikmat soto Madura, belum/tidak mengetahui sejarah asal-usul produk budaya/kebudayaan tersebut. Melengkapi pepatah “tak kenal maka tak sayang” penelusuran terhadap ibu kandung kebudayaan tersebut menjadi penting.
Soto Madura sebagai produk budaya masyarakat Madura memiliki empat variasi kuliner. Ragam soto Madura tersebut: (1) soto sulung (Budiyanto dan Wardani, 2013), (2) soto Bangkalan, (3) soto Pamekasan, dan (4) soto Sumenep (Wikipedia, 2021).
Soto Madura menurut Rismu (dalam Budiyanto dan Wardani, 2013) bukan kuliner asli Madura. Asal mula perkembangan kuliner ini di Kota Surabaya sekitar tahun 1970-an. Warung soto Sulung di Surabaya tahun 1970-an menjadi salah satu pembuktiannya. Penyebutan soto ini dengan soto Madura karena kuliner ini dijual oleh orang Madura. Di tahun 1970-an hingga tahun 1984 belum ada warung soto Madura di Madura. Baru sekitar tahun 1988 warung soto Madura mulai ada di Madura.
Soto menurut Phillip Leo (1975) berasal dari China yang bernama caudo. Caudo (jau to/chau tu) menurut Lono Simatupang (dalam Deanisa, 2021) dalam dialek Hokkian artinya rerumputan jeroan dan rempah-rempah. Menurut Aji “Chen” Bromokusumo (2013) soto berasal dari kata shao du (sao tu) China yang artinya memasak jeroan. Berbeda dengan definisi tersebut, Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardani (2013) menjelaskan bahwa kuliner ini disebut soto karena menu berkuah rempah ini dibuat dengan kaldu daging jeroan dan disajikan dengan potongan daging jeroan yang dimasak pindang kecap.
Kuliner ini pertama kali populer di Semarang pada abad ke-19 M. Pada abad ini caudo/shao du pertama kali diperkenalkan oleh peranakan etnis China kepada etnis Jawa di Semarang (Bromokusumo, 2013). Etnis yang mendominasi (paling hebat) dalam membuat kuliner soto menurut Denys Lombart (2005) adalah etnis Madura. Namun, karena alasan agama, bahan dasar daging caudo diganti oleh etnis Jawa dengan daging lain. Kebiasaan peranakan etnis China yang sering menggunakan daging babi di caudo/shao du dirubah oleh etnis Jawa dengan daging sapi, kerbau, dan ayam untuk menyesuaikan dengan masyarakat Jawa yang banyak beragama Islam.
Berbeda dengan Denys Lombart, Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardani menjelaskan bahwa soto Madura berasal India/Arab. Menurut Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardani, berdasarkan dari bumbu yang digunakan dalam resep soto Madura (soto Sulung) mirip dengan bumbu kare/gule India/Arab.
Mantap sekali, asal usulnya. Bisa2 Madurapers diproyeksikan jadi *Museum Digital Madura*. Ini riset ilmiah menarik yg tidak banyak dilirik oleh akademisi. Sy sgt setuju jika kedepan, kita memperkaya khazanah keilmuan dan eksplorasi Madura dr beragan sisi. Ini sangat layak utk dimulai *”Proyeksi Museum Digital Madura”*.
Ok mantap usulnya