KETIKA berbicara pendidikan, saya teringat bobroknya pendidikan di Bangkalan. Beberapa waktu lalu sempat dihebohkan dengan masalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dianggap menyeleweng dari sistem yang ada. Oleh karena itu, berbagai bentuk kritik-respon yang ada akhirnya menjelma menjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis pergerakan mahasiswa di Bangkalan.
Masalah PPDB yang dimaksud bukan terletak pada proses pendaftaran PPDB-nya. Tetapi, proses pembelian seragam yang masuk kedalam prosedur PPDB yang sebenarnya tidak ada dalam program PPDB.
Permasalahan pengadaan seragam sebetulnya memang terjadi di setiap tahun ajaran baru dan tidak menutup kemungkinan SMP maupun SMA negeri dan swasta di Bangkalan mewajibkan siswanya membeli seragam di koperasi sekolah di harga jauh di atas harga pasar. Sebagai sampel, penjualan seragam di salah satu sekolahan di Bangkalan dengan mematok harga yang fantastis hingga berkisar Rp. 1.600.00,’ bahkan lebih, yang dinilai sangat mahal dan tidak wajar sama sekali.
Tentu, ini sangat membebani wali murid yang menyekolahkan anaknya baik di tingkat pendidikan dasar, menengah maupun akhir. Secara ekonomi, masyarakat Bangkalan umumnya merupakan dari kalangan menengah ke bawah. Model ini seperti memeras serta mencekik masyarakat perlahan secara tidak langsung.
Di tahun 2023 ini, kasus sekolah berbisnis seragam melalui koperasi sekolah, siswa baru diwajibkan membeli tiga jenis kain seragam dengan harga yang tidak wajar. Ini bukan di satu sekolah tapi di beberapa sekolah terutama di Bangkalan. Alasan mendasar adanya bisnis seragam adalah agar warna seragam menjadi sama.
Dengan keterpaksaan wali siswa (masyarakat) harus membelinya walaupun dengan harga seragam yang sangat mahal. Hal ini demi keberlanjutan anaknya agar bisa sekolah di tempat tersebut.
Hendaknya pihak sekolah menyadari bahwa orang tua siswa tidak semuanya kaya, banyak wali siswa yang tergolong miskin. Bila ini terus bergulir bisa jadi melemahkan niat atau keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya dengan dasar bahwa pendidikan sangat mahal dan ditambah tidak menentunya dunia kerja.
Kejadian ini pihak berwajib serta dinas terkait harus bersikap tegas mengatasi permasalah ini. Sekolah dilarang berbisnis seragam sekolah apalagi sampai menjualnya dengan harga di luar batas.
Biarkan wali murid memilih sendiri jenis kain seragam anaknya sesuai kemampuan ekonomi keluarga. Karena sejatinya belajar di sekolah untuk menghilangkan kebodohan dan menambah pengetahuan bukan menyamakan jenis dan bentuk kain seragam. Juga buka menyamakan model jahitan seragam.
Jika permasalahan ini terus berlanjut di Bangkalan jangan bermimpi besar bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) semakin meningkat. Bisa dipastikan IPM Bangkalan semakin tertinggal, yang awalnya peringkat kedua dari bawah bisa-bisa menjadi nomor satu dari bawah se-Jawa Timur, miris sekali.
Salah satu indikator kemajuan IPM adalah pengetahuan, yang mana pengetahuan ini diperoleh melalui proses pendidikan yang ada di Indonesia termasuk di Bangkalan itu sendiri. Sangat disayangkan apabila pendidikan di Bangkalan masih dengan kasus yang sama, yaitu pungli sedemikian rupa.