Bangkalan – Akhir-akhir ini, kabupaten Bangkalan dihebohkan dengan problem pertahanan. Pasalnya, kebijakan pelayanan sertifkat tanah di Kantor BPN Kabupaten Bangkalan sangat berbelit-belit dan bahkan sangat lama.
Terlepas dari urusan kebijakan pelayanan sertifkat tanah di BPN Bangkalan, Ahmada Annur (direktur CIDe’) memberikan ulasan dari sisi yang lain terkait problem yang menyangkut pertanahan di Kabupaten Bangkalan.
Menurutnya, sesuai regulasi pajak daerah dan retribusi daerah, dalam jual beli tanah dikenakan PPh (Pajak Penjualan Tanah) dan pembeli dikenakan BPHTB (Bea Perolehan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
“Jika kita pernah melakukan transaksi jual beli tanah di Kabupaten Bangkalan, tentu kita pernah melakukan pembayaran PPh bagi penjual dan BPHTB bagi pembeli, hal itu sebagaimana yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan perubahannya dalam UU No. 20 Tahun 2000 dan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,” jelasnya.
Tetapi bukan di situ masalahnya, melainkan pada transparansi tentang beban BPHTB yang diberikan kepada perorangan dari Dispenda berbeda dengan yang tercantum pada NJOP SPPT dan kewajiban yang harus dibayarkan. Nilai yang harus dibayar di atas NJOP SPPT tahunan yang dikeluarkan oleh Dispenda.
“Sudah sejak lama kita dihadapkan pada persoalan pajak tanah yang kurang transparan, suatu contoh, ketika developer atau perorangan melakukan transaksi jual beli tanah atau rumah, maka beban BPHTB yang disodorkan kepada developer atau perorangan dari Dispenda akan berbeda dengan yang tertera pada NJOP SPPT dan kewajiban yang harus dibayar. Rata rata nilainya di atas NJOP SPPT tahunan yang dikeluarkan oleh Dispenda,” ungkapnya.
Kenyataannya berbanding terbalik ketika melakukan pengajuan peralihan baik itu tanah hasil jual-beli ataupun hibah.
“NJOP yang tertera di SPPT sangat murah, ketika kita melakukan pengajuan peralihan hak jual beli tanah maupun hibah dan lain sebagainya itu sangat mahal. Pertanyaannya, apakah uang yang dipungut dari PPh dan BPHTB sesuai transaksi jual beli dengan patokan harga di luar NJOP atau Dinas Pendapatan Daerah Bangkalan menyetor sesuai SPPT tahunan?” imbuhnya.
Ia menduga, kalau Dispenda Bangkalan menarik di atas NJOP SPPT dan yang disetor ke kas daerah sesuai SPPT tahunan, maka Pendapatan Daerah di sektor ini mengalami kebocoran.
Oleh karenanya Ahmad mengusulkan, Dispenda dan BPN harus segera mengubah tarif NJOP SPPT dan menyesuaikan kembali dengan besaran tarif zonasi di Bangkalan.
“Namun, apabila Dispenda menyetor ke kas daerah sesuai dengan transaksi jual beli di luar SPPT tahunan ini, maka ini ada mal-administrasi. Maka dalam hal ini, Dispenda dan BPN harus segera mengubah tarif NJOP SPPT dan menyesuaikan kembali dengan besaran tarif zonasi di Bangkalan,”imbuhnya.
Selain itu, pemerintah Kabupaten Bengkalan harus membuat sistem pembayaran BPHTB secara online untuk mengantisipasi kebocoran pendapatan pada sektor ini.
“Dalam rangka mengurangi angka kebocoran pendapatan sektor BPHTB ini, pemerintah Kabupaten Bangkalan harus segera membuat sistem pembayaran online BPHTB di Bangkalan, hal ini terbukti dibeberapa daerah lainnya bisa terkontrol dan terbuka, sehingga meminimalisir penyelewengan,” jelasnya.
Dan yang tidak kalah pentingnya harus ada pembaruan NJOP di SPPT tahunan dalam rangka mendongkrak PAD.
“Dan yang tidak kalah pentingnya, yaitu besaran NJOP di SPPT harus ada pembaharuan, karena ini juga dalam rangka mendongkrak pendapatan asli daerah. Selama NJOP SPPT di Bangkalan tidak ada pembaharuan, maka pendapatan daerah sulit mengalami peningkatan dari sektor ini,” pungkasnya mengakhiri wawancara dengan reporter madurapers.com via WhatsApp (01/08/2021).